Minggu, 03 Oktober 2010

Note 1: Lupakan...!!!!

Saya suak bercerita, tapi tak pernah lulus audisi menjadi pendongeng di radio atau di taman kanak-kanak. Saya suka bercerita apa saja. Tentang diri saya, tentang buku yang saya baca atau tentang cara pandang saya terhadap sesuatu.


Korban utama yang sering menjadi lahan saya bercerita adalah someone beside me. Meskipun terakhir ia tak sanggup lagi mendengar saya dan menyibukkan diri dengan pikirannya sendiri. Atau yang lebih nyedihkan itu dengan cara memotong pembicaraan saya dan mengkritik saya dengan pedas sampai saya memilih diam.

Mungkin karena itu pula ketika saya ingin bercerita serius sekali dengannya, menyangkut kehidupan kami, menyangkut semua hal penting yang saya ingin katakan, ia hanya mendengar dengan asal-asalan. Diam, bukan berarti mendengarkan. Mungkin itu yang bisa saya simpulkan dari kejadian ini.Saya sudah berbuih-buih membicarakan apa yang saya tak suka dan apa yang saya inginkan dari dirinya, ia malah dengan semudah membalikkan tangan melupakannya.

Olala....
Mungkin saya harus mengikhlaskan untuk mrengucapkan kata "lupakan...!!!" begitu ia bertanya apa. Toh, pada akhirnya ia juga melupakannya lagi bukan?

Ai: Cinta Tak Pernah Lelah Menanti

Judul : Ai: Cinta Tak Pernah Lelah Menanti
Penulis : Winna Efendi
Harga : Rp41.500
Jumlah halaman : 288 hlm
ISBN : 979-780-307-4
Ukuran : 13 x 19 cm

Cinta seperti sesuatu yang mengendap-endap di belakangmu. Suatu saat, tiba-tiba kau baru sadar, cinta menyergapmu tanpa peringatan.

SEI
Aku mencintai Ai. Tidak tahu sejak kapan–mungkin sejak pertama kali dia menggenggam tanganku–aku tidak tahu mengapa, dan aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya mencintainya, dengan caraku sendiri.

AI
Aku bersahabat dengan Sei sejak kami masih sangat kecil. Saat mulai tumbuh remaja, gadis-gadis mulai mengejarnya. Entah bagaimana, aku pun jatuh cinta padanya, tetapi aku memilih untuk menyimpannya.  Lalu, datang Shin ke dalam lingkaran persahabatan kami. Dia membuatku jatuh cinta dan merasa dicintai.

Orang Sosial dan Orang Eksak

Dulu, saat saya masih duduk di bangku Aliyah, guru Geografiku, Zuhransyah Sarjana Pendidikan pernah berkata pada saya. "Kalau mau keren pilih IPA dan kalau mau cepat dapat kerja pilih IPS. Lapangan kerja IPS itu lebih luas daripada IPA." Tuturnya.

Saya tidak berkomentar apapun. Dalam hati saya hanya bergumam, terang saja. Bapak kan guru IPS. Itu kan cuma akal-akalan bapak saja untuk mengatakana kalau jurusan IPS lebih baik daripada IPA.

Saya berkeras dengan pilihan saya sendiri. Tetap berkeras dengan jurusan IPA. Hingga kemudian saya lulus IPA dan masuk di kelas unggulan bersama tiga puluh sembilan orang lainnya. Kebanyakan dari mereka memang anak-anak pintar dan unggul di kelasnya dulu. Kebanyakan di kelas III IPA 2 itu memang perempuan.

Ada satu yang saya tak temuka pada anak-anak IPA, khususnya teman-teman saya sekelas saya. Kami memang kompak, tetapi bukan dalam segi rasa sosial dan segala hal yang menyangkut kepentingan individu. Saya bahkan baru merasakan hal ini ketika menjelang kelulusan. Saya pikir, nilai saya tak terlalu jelek untuk medapatkan Ujian Seleksi Masuk Universitas (USMU), jalur khusus untuk siswa berprestasi masuk masuk universitas negeri tanpa seleksi atau ujian SPMB. Tetapi saya baru tahu saya tak mendapatkannya, tepatnya terlupakan ketika saya mengetahui ada beberapa teman yang telah mengambil beberapa universitas negeri di dua Provinsi yang paling diminati oleh siswa tempat saya bersekolah, Sumateara Utara dan Banda Aceh. Selain tak terlalu jauh, konon biaya yang dikeluarkan juga tak banyak.


Bukan saya tidak dapat undangan USMU, saya juga dapat. Tetapi untuk provinsi yang jauh-jauh dan tak tak ada lagi siswa di sekolah saya yang mau mengambilnya.

Saya mendapat undangan ke Malang, Bandung, Jakarta dan Surabaya.

Terakhir saya menerima panggilan dari Malang. Jurusan arsitektur. Saya menyukainya, tetapi keluarga saya keberatan. Selain mahal dan jauh, keluarga saya memikirkan juga bagaimana kondisi kesehatan saya. Akhirnya saya ikut tes ujian masuk di Jurusan Komunikasi IAIN Ar-Raniry. Lulus. Dan saya selesai dengan gelar Sarjana Sosial Islam.

Kata orang-orang, saya akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Karena label Islam di belakang gelar saya dan lulusan IAIN. Bukan hanya itu. Saya juga akan menyesal kuliah di IAIN. Tetapi kata-kata guru saya ternyata ada benarnya, jurusan sosial lebih diminati.

Dua hari sebelum wisuda saya di terima di sebuah yayasan inovasi media dan komunikasi. Meski gajinya tak besar dan pekerjaannya capek. Tapi bagi saya ini pengalaman yang menyengkan dan biaya yang cukup untuk survival di perantauan. Saya juga menyenangi pekerjaan ini. Kenapa? Saya suka bertemu dengan orang banyak dan jalan-jalan. Itulah pekerjaan yang saya geluti sekarang.

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan adik angkatan saya, ia berkata sesuatu pada saya, "Kak, si W itu anaknya apatis. Maklumlah, dia orang eksak. Tidak bisa menghargai orang lain" dan sederatan kalimat tak menyenangkan tentang keberadaan adik orang terdekat saya itu.



Awalnya saya tidak percaya dan tetap bertahan dengan pendapat saya. Jalas saja dia bilang begitu, dia itu cemburu pada W yang jauh berada di atas si A.

Oke, saya tak mempermasalhkannya.

Entah kenapa, ternyata terbukti. Saya bingung. Teman-teman sekelas saya yang dulu memang tidak ada sedikit unsur peduli sosial, begitupun dengan orang-orang di sekeliling saya. Jadi, benarkah?